Aku Milik Suamiku, Sedang Suamiku Milik Ibunya
Seburuk apapun mertua, Aku selalu ingat bahwa dia, Adalah wanita yang mengandung suamiku dalam kepayahan selama 9 bulan.
Dia, Adalah wanita yang air susunya menjadi makanan pertama bagi suamiku.
Dia, Wanita yang mendidik dan membesarkan suamiku, Yang mengajarkan kepada suamiku akhlaq sehingga aku nyaman di sisi suamiku saat ini.
Aku, Tidak pernah keluar uang sepeserpun untuk menyekolahkan suamiku,
Hingga ia dapat ijazah, Pengetahuan dan pengalaman hidup, yang sekarang semua itu ia gunakan untuk mencari nafkah, Untuk menafkahi aku!
Aku, Tidak sedikitpun mendidik suamiku hingga kini ia jadi lelaki yang penuh tanggungjawab, Dan aku merasakan bahagia menjadi istrinya.
Setelah pengorbanannya yang bertubi tubi, Anak laki-lakinya menikah denganku, Dia bagi kasih sayang anaknya denganku.
Cemburu? Pasti dia cemburu. Aku wanita asing, Yang kini selalu disayang-sayang oleh anak laki lakinya.
Harta anak laki lakinya tercurah untuk kunikmati, Padahal ia yang melahirkan dengan bertaruh nyawa, Membesarkan dan mendidik suamiku.
Aku memahami cemburu itu, Walau aku pun merasakan cemburu ketika suamiku lebih memihak mertuaku. Namun aku selalu ingat bahwa “Aku milik suamiku, sedang suamiku milik ibunya”.
Aku bukanlah malaikat yang tak pernah merasa kesal dengan mertuaku, Dan mertuaku pun bukan malaikat yang selalu kubela.
Adakalanya aku marah, Cemburu dan sakit hati. Namun aku ingat mungkin mertuaku pun terkadang merasakan hal yang sama.
Namun lagi-lagi aku pun ingat semua jasanya pada suamiku, Jasa yang sampai akhir hayat-pun aku tidak akan mampu membayarnya.
Terlebih jika mertuaku adalah seorang yang baik serta memperlakukan aku seolah putri kandungnya sendiri.
Terlebih jika aku ingat saat mertuaku selalu mengingatkan suamiku agar jangan memarahi apalagi membentak serta memperlakukan aku, istrinya ini, dengan sebaik-baik perlakuan dan akhlaq.
Maka sangatlah tidak pantas jika aku menghadapkan suamiku pada kondisi yang mengharuskannya memilih antara aku dan ibunya.
Pada ujung tangisku, terngiang nasehat ibundaku tercinta: “Nak, dukunglah suamimu untuk berbakti pada ibunya. Jangan suruh ia memilih antara kau dan ibunya.
Karena, Kelak kau akan merasakan bagaimana sakitnya diperlakukan seperti itu oleh anak laki lakimu.
Apa yang kau lakukan pada mertuamu, Akan dilakukan pula oleh menantumu. Segala sesuatu pasti ada timbal baliknya.
Oh suamiku, Bahagiakanlah orang tuamu semampumu, Insya Allah akan aku dukung dirimu dalam berbakti pada orang tuamu, Terlebih pada ibundamu.
Semoga kelak anak-anak kita pun membahagiakan kita, Sebagai balasan baktimu pada orang tuamu. Selagi mereka masih hidup, belum tentu hari esok mereka tak ada.
Duhai suamiku… Bantulah aku untuk bersabar dan mencintai ibundamu tanpa kenal lelah. Seperti aku yang dengan tulus mencintaimu.
Jangan sampai kita merasakan kerinduan pada mereka yang telah membuat hari-hari kita repot dan kadang mengeluh saat membantunya.
Mereka tak akan lama, merepotkan kita. Bersabar adalah cara terbaik yang Allah berikan, Ikhlaslah karena balasannya surga bagi kita.
Aamiin Allahumma Aamiin