Barisan Mahasiswi Muslim India: "Saya Hanya Ingin Belajar"
Muskan Khan, mahasiswa di Karnataka, India, mengatakan dia tidak takut dengan aktivis sayap kanan Hindu yang ingin berlakukan larangan menggunakan cadar di lembaga pendidikan. Polemik ini meluas ke seluruh negeri.
Setelah enam mahasiswa dilarang memasuki sebuah perguruan tinggi di distrik Udupi pesisir Karnataka karena mengenakan jilbab pada 1 Januari lalu, perdebatan tentang hak-hak perempuan muslim, pluralisme, dan sekularisme menjadi topik hangat di seluruh negeri.
Di tengah meningkatnya ketegangan komunal dan kekerasan sporadis, pihak berwenang telah menutup semua sekolah menengah dan perguruan tinggi di negara bagian selatan selama tiga hari. Negara bagian Karnataka diperintah oleh Partai Nasionalis Hindu Bharatiya Janata (BJP) pimpinan Perdana Menteri Narendra Modi, yang oleh banyak warga muslim dituduh menyimpang dari ideologi sekuler negara itu.
Pengadilan Tinggi negara bagian sedang mendengarkan dua petisi tentang masalah ini dan segera memutuskan apakah akan mempertahankan larangan itu atau membatalkannya. Salah satu petisi berpendapat bahwa mengenakan cadar dan jilbab adalah hak dasar warga negara untuk memilih pakaian yang dijamin oleh konstitusi negara. Sementara petisi lainnya menentang legalitas keputusan pemerintah untuk memberlakukan aturan berpakaian di lembaga pendidikan.
DW menghubungi beberapa pejabat partai yang berkuasa, tetapi mereka tidak ingin berkomentar karena masalah tersebut saat ini sedang diproses di pengadilan. Sejumlah partai oposisi di Parlemen Nasional memberikan dukungan untuk barisan mahasiswi muslim dengan melakukan walk out.
Menteri Urusan Parlemen Pralhad Joshi, anggota parlemen dari Karnataka, mengatakan kepada wartawan bahwa "semua siswa harus mengikuti aturan berpakaian yang ditentukan oleh sekolah dan administrasi mereka."
"Pahlawan" yang tidak disukai
Isu itu semakin hangat ketika satu video mahasiswi viral di media sosial. Video Itu menunjukkan Muskan Khan, seorang mahasiswi tahun kedua dari Mandya College, dicemooh oleh aktivis sayap kanan Hindu. Mereka konon mendukung aturan berpakaian di kampus. Khan, seorang gadis muslim yang mengenakan cadar, menghadapi mereka dan berteriak "Allahu Akbar" (Allah Maha Besar dalam bahasa Arab). Dia menolak untuk melepas cadarnya.
Khan sekarang dipuji oleh banyak muslim India sebagai "pahlawan" yang membela hak-hak minoritas.
"Mereka tidak mengizinkan saya masuk perguruan tinggi karena saya mengenakan cadar. Mereka mulai meneriakkan Jai Shri Rama (Salam Tuhan Rama), jadi saya mulai meneriakkan Allahu Akbar," kata Muskan kepada DW melalui telepon dari Mandya.
Yang ingin saya lakukan hanyalah belajar, dan orang-orang ini menghentikan kami. Namun, saya tidak takut," tambahnya.
Objektifikasi perempuan
Sejumlah pihak yang mendukung larangan bercadar, berpendapat bahwa itu adalah hak otoritas perguruan tinggi untuk memutuskan jenis pakaian apa yang boleh dikenakan oleh para siswa. Namun, bagi banyak pelajar muslim dan bagian sekuler India, menentangnya dengan mengatakan bahwa itu adalah hak dasar setiap individu untuk menjalankan keyakinan agama.
"Jilbab adalah bagian dari identitas budaya dan agama wanita muslim. Ini seperti mangalsutra (kalung) untuk Hindu, salib untuk Kristen, dan sorban untuk Sikh," kata TN Prathapan, seorang anggota parlemen dari partai oposisi Kongres, kepada DW.
Prathapan mengatakan hak konstitusional semua warga negara harus dilindungi.
Sementara itu, peraih Nobel Perdamaian Malala Yousafzai meminta pihak berwenang India mengambil langkah-langkah untuk "menghentikan marginalisasi perempuan muslim."
"Menolak membiarkan anak perempuan pergi ke sekolah dengan hijab mereka sangat mengerikan. Objektifikasi terhadap perempuan tetap ada, karena persoalan pakaian," bunyi cuitan Yousafzai di Twitter.
Permainan politik
Beberapa ahli mengatakan BJP sengaja memicu masalah ini untuk keuntungan politik.
"Ingin memakan apa dan memakai pakaian apa adalah hak fundamental. BJP mencoba memaksakan pilihannya pada rakyat. Ini tidak lain adalah politik mayoritas yang dimainkan," kata Nawab Malik dari Partai Kongres Nasionalis, kepada DW.
Para aktivis mengatakan serangan terhadap muslim, yang berjumlah sekitar 200 juta dari 1,4 miliar penduduk India, telah meningkat sejak Modi mengambil alih kekuasaan pada 2014. Ketegangan komunal juga meningkat di Karnataka, negara bagian yang diperintah oleh BJP. Menurut Forum Kerukunan Masyarakat Karnataka, distrik pesisir negara bagian itu menyaksikan lebih dari 120 insiden komunal pada tahun lalu, jumlah tertinggi dalam empat tahun terakhir.
Baru-baru ini laporan bersama yang diinisiasi United Christians Forum, Association for Protection of Civil Rights dan United Against Hate, mengungkapkan ada 305 insiden kekerasan terhadap orang Kristen terjadi secara nasional dalam sembilan bulan pertama tahun 2021, termasuk 32 insiden di Karnataka.
Cynthia Stephen, peneliti kebijakan sosial di Karnataka, mengatakan BJP "bisa saja menyelesaikan masalah ini sejak awal" jauh lebih awal.
Kavita Krishnan, dari Asosiasi Progresif Wanita Seluruh India, mengatakan kepada DW bahwa masalah jilbab dengan mudah digunakan sebagai pembenaran untuk serangan massa terhadap muslim.
"Hijab hanyalah dalih terbaru untuk menargetkan wanita muslim. Itu terjadi setelah supremasi Hindu mengadakan lelang online wanita muslim dan membuat pidato menyerukan perbudakan seksual dan alat reproduksi mereka," kata Krishnan.